Oleh : dr. Bechty Enggar Rusmaya
( on air Suara Muslim Radio Network 93.8 FM )
Pernah dengar tentang keracunan kehamilan?
Ya, Orang dahulu menyebut preeklampsia dan eclampsia dengan istilah keracunan kehamilan.
Mengapa disebut demikian? Apakah semua ibu hamil beresiko terkena preeklampsia dan eclampsia?
Bagaimana cara mencegah agar tidak terjadi pada diri kita?
Preeklampsia dan eclampsia merupakan momok bagi tenaga medis penolong persalinan, lebih lebih bagi ibu hamil dan keluarganya. Bagaimana tidak? Preeklampsia dan eclampsia merupakan penyebab kedua terbesar kematian ibu dalam proses kehamilan dan persalinan di negara Indonesia.
Secara istilah kedokteran, preeklampsia dan eclampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Istilah awamnya adalah adanya maladaptasi ibu terhadap janin yang menyebabkan komplikasi di seluruh organ tubuh ibu. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi (darah tinggi) dan proteinuria (adanya protein di dalam air seni) pada usia kehamilan di atas 20 minggu. Adanya edema (bengkak) tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.
Preeklampsia digolongkan menjadi kriteria minimal preeklampsia dan preeklampsia berat. Dikatakan kriteria minimal preeklampsia apabila pada pemeriksaan fisik ibu hamil usia kehamilan di atas 20 minggu didapatkan tekanan darah lebih dari sama dengan 140/90 dan proteinuria lebih dari sama dengan 300 mg per 24 jam atau lebih dari sama dengan 1 pada pemeriksaan dipstick air seni. Sedangkan kriteria preeklampsia berat adalah jika dijumpai gejala seperti preeklampsia kriteria minimal ditambah dengan salah satu gejala di bawah ini :
- Tekanan darah lebih dari sama dengan 160/110 mmHg
- Proteinuria lebih dari sama dengan 5 g/24 jam atau lebih dari sama dengan 2 pada pemeriksaan dipstik
- Ada keterlibatan organ tubuh lainnya :
· Sistem peredaran darah: trombositopenia/penurunan jumlah trombosit (<100.000/ul) dan pecahnya sel darah merah.
· Hati: peningkatan enzim sel sel hati yakni SGOT dan SGPT dan adanya nyeri epigastric (ulu hati)
· Sistem saraf: sakit kepala yang menetap, penglihatan yang kabur
· Janin : pertumbuhan janin terhambat, oligohidramnion/jumlah air ketuban yang lebih sedikit daripada normal.
· Paru : edema paru dan / atau gagal jantung
· Ginjal : oliguria/produksi air kencing lebih sedikit daripada normal (≤500 ml/24 jam), peningkatan sisa metabolism tubuh kreatinin ≥ 1,2 mg/dL.
Prediksi dan pencegahan preeklampsia meliputi pencegahan primer, sekunder dan tersier. Pencegahan primer artinya menghindari penyakit. Pencegahan sekunder preeklampsia berarti memutus proses terjadinya penyakit yang sedang berlangsung sebelum timbul gejala atau kedaruratan klinis karena penyakit tersebut. Pencegahan tersier berarti pencegahan dari komplikasi yang disebabkann oleh proses penyakit sehingga pencegahan ini juga merupakan tata laksana.
Pencegahan primer merupakan cara yang terbaik namun hanya dapat dilakukan bila penyebabnya telah diketahui dengan jelas sehingga memungkinkan untuk menghindari atau mengontrol penyebab penyebab tersebut, namun hingga saat ini penyebab pasti terjadinya preeklampsia masih belum diketahui.
Berdasarkan dari beberapa studi, terdapat 17 faktor yang terbukti meningkatkan resiko preeklampsia, antara lain :
Tabel Faktor resiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama |
|
Anamnesis |
Resiko mengalami preklampsia (dibandingkan tidak ada faktor resiko) |
|
2 X |
Nullipara (ibu yang belum pernah melahirkan) |
3 X |
|
7X |
Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru |
Resiko meningkat pada wanita yang memiliki paparan rendah terhadap sperma |
Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih |
3X (1,5X setiap 5 tahun jarak kehamilan pertama |
Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan |
3 – 3,6 X |
|
3 X pada duplet (triplet 3X duplet, dst) |
IDDM (Insulin Dependent Diabetes Mellitus) |
4 X |
Hipertensi kronik |
4 X |
Penyakit Ginjal |
Meningkat sebanding dengan keparahan penyakit |
Sindroma antifosfolipid (APS) |
10 X |
Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio |
2 X |
|
2,47 – 4 X |
Pemeriksaan fisik |
|
|
Faktor resiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam melakukan penilaian resiko kehamilan pada kunjungan awal antenatal. Berikut adalah klasifikasi faktor resiko :
Tabel klasifikasi resiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama |
Resiko tinggi untuk preeklampsia |
· Hipertensi kronik · Diabetes melitus · Penyakit ginjal kronis · Sindroma antifosfolipid |
Faktor resiko tambahan |
|
Pencegahan sekunder terhadap terjadinya preeklampsia dapat dilakukan melalui beberapa langkah sebagai berikut:
a. Istirahat berupa istirahat di rumah selama 4 jam/hari
b. Penggunaan aspirin dosis rendah (dosis 75mg atau kurang) cukup aman diberikan pada kelompok resiko tinggi untuk menurunkan resiko preeklampsia baik sebagai pencegahan primer atau sekunder.
c. pemberian suplemen kalsium (1,5 – 2 gram / hari) berhubungan dengan penurunan hipertensi dalam kehamilan dan preeklampsia terutama pada wanita dengan asupan rendah kalsium dan resiko tinggi preeklampsia. Pemberian kalsium juga berhubungan dengan penurunan resiko morbiditas berat dan mortalitas maternal, persalinan preterm dan tekanan darah diastolik > persentil 95 pada masa kanak.
Manajemen preeklampsia meliputi manajemen ekspektatif dan manajemen konservatif. Manajemen ekspektatif dimaksudkan untuk memperbaiki luaran perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektiatif tidak meningkatkan kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio sesarea atau solusio placenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Manajemen ekspektatif dapat dipertimbangkan pada kasus preeklampsia pada usia kehamilan 26 – 34 minggu yang bertujuan untuk memperbaiki luaran perinatal. Pemberian kortikosteroid berguna untuk mengurangi morbiditas (sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular dan infeksi ) serta mortalitas perinatal.
Mengingat begitu besar komplikasi preeklampsia dan eclampsia pada kehamilan dan persalinan, setiap kehamilan seyogyanya dipantau melalui kegiatan antenatal care yang memadai di pusat layanan kesehatan oleh tenaga medis professional. Setiap temuan yang mengarah pada kondisi patologis tertentu harus diantisipasi dengan baik guna memperbaiki luaran ibu dan bayi pasca persalinan sehingga kematian seorang ibu dalam proses kehamilan dan persalinan dapat ditekan. Seperti sebuah kalimat bijak, “DON’T LET THE MOTHER GIVE HER LIFE, WHEN SHE IS GIVING A LIFE TO HER BABY”.